CSR Disclosure adalah pengungkapan informasi yang berkaitan dengan
lingkungan di dalam laporan tahunan perusahaan. Untuk mengukur CSR disclosure ini
digunakan CSR index yang merupakan luas pengungkapan relatif setiap perusahaan
sample atas pengungkapan sosial yang dilakukannya (Zuhroh dan Sukmawati, 2003),
dimana instrumen pengukuran dalam checklist yang akan digunakan dalam penelitian ini
mengacu pada instrumen yang digunakan Sembiring (2005), yang mengelompokkan
informasi CSR ke dalam 7 kategori yakni : lingkungan, energi, kesehatan dan
keselamatan tenaga kerja, lain - lain tenaga kerja, produk, keterlibatan masyarakat, dan
umum. Kategori ini diadopsi dari penelitian yang dilakukan oleh Hackston dan Milne
(1996). Ke tujuh kategori tersebut terbagi dalam 90 item pengungkapan., Berdasarkan
peraturan Bapepam No. VIII.G.2 tentang laporan tahunan dan kesesuaian item tersebut
untuk diaplikasikan di Indonesia maka dilakukan penyesuaian (Sembiring, 2005) hingga
tersisa 78 item pengungkapan. Tujuh puluh delapan item tersebut kemudian disesuaikan
kembali dengan masing – masing sektor industri sehingga item pengungkapan yang
diharapkan dari setiap sektor berbeda – beda. Total item CSR berkisar antara 63 sampai
78, tergantung dari jenis industri perusahaan.
Pendekatan untuk menghitung CSRI pada dasarnya menggunakan pendekatan
dikotomi yaitu setiap item CSR dalam instrumen penelitian diberi nilai 1 jika
diungkapkan, dan nilai 0 jika tidak diungkapkan (Haniffa et al, 2005 dalam Sayekti dan
Wondabio, 2007). Selanjutnya, skor dari setiap item dijumlahkan untuk memperoleh
keseluruhan skor untuk setiap perusahaan. Rumus perhitungan CSRI adalah sebagai
berikut: (Haniffa et al, 2005 dalam Sayekti dan Wondabio, 2007)
ΣXij
CSRIj =
nj
9Keterangan:
CSRIj : Corporate Social Responsibility Disclosure Index perusahaan j
nj : jumlah item untuk perusahaan j, nj ≤ 78
Xij : dummy variabel: 1 = jika item i diungkapkan; 0 = jika item i tidak diungkapkan
Dengan demikian, 0 ≤ CSRIj ≤ 1
c. Kinerja Finansial
Kinerja finansial ini merupakan kinerja perusahaan – perusahaan secara relatif
dalam suatu industri yang sama yang ditandai dengan return tahunan industri yang
bersangkutan. Kinerja finansial perusahaan diukur dengan menghitung return tahunan
perusahaan untuk kemudian dibandingkan dengan return tahunan industri manufaktur.
Return tahunan perusahaan diukur dengan membagi median harga saham perusahaan
pada tahun tersebut setelah dikurangi dengan dividen dengan harga saham di awal tahun
kemudian dikurangkan dengan median return industri manufaktur pada tahun tersebut.
Menurut Al – Tuwajiri, et al. (2004) kinerja finansial dinyatakan dalam skala yang
dihitung :
(P1 – P0) + Div – MeRI
Po
Dimana : P1 = harga saham akhir tahun
P0 = harga saham awal tahun
Div = pembagian dividen
MeRI = median return industri
Return industri diukur dari indeks industri yang diperoleh dari laporan
Indonesia Stock Exchange (IDX)
Tingkat CSR disclosure score ini bervariasi pada masing – masing perusahaan,
namun demikian, meski perusahaan dengan kinerja lingkungan yang baik memiliki tingkat
CSR disclosure score yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan dengan kinerja
lingkungan yang buruk, tingkat CSR disclosure score tersebut tergolong rendah bila
dibandingkan dengan jumlah item keseluruhan yang seharusnya diungkapkan. Perusahaan
dengan tingkat CSR disclosure score tertinggi saja hanya mengungkapkan 42 item yang
tentunya masih jauh dibawah standar bila dibandingkan dengan 78 item yang seharusnya
diungkapkan. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa kesadaran perusahaan – perusahaan
publik di Indonesia saat ini baru sampai pada batas memenuhi kewajiban yang bersifat
mandatory, dalam artian perusahaan – perusahaan tersebut baru mengimplementasikan CSR
pada kategori social obligation, yakni implementasi CSR hanya sekedar untuk memenuhi
persyaratan minimal yang ditentukan oleh pemerintah dan ada kesan terpaksa (Susanto, 2003
dalam Wibisono, 2007: 52-53). Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat banyaknya
manfaat yang dapat diambil dari praktik dan pengungkapan CSR apabila dipraktekkan
dengan sungguh-sungguh, diantaranya dapat mempererat komunikasi dengan stakeholders,
meluruskan visi, misi, dan prinsip perusahaan terkait dengan praktik dan aktivitas bisnis
internal perusahaan, mendorong perbaikan perusahaan secara berkesinambungan, sebagai
wujud manajemen risiko dan untuk melindungi reputasi, serta untuk meraih competitive
advantage dalam hal modal, tenaga kerja, supplier, dan pangsa pasar (Darwin, 2004: 262).
4.4. Pengaruh Kinerja Lingkungan Terhadap Kinerja Finansial
Dari hasil analisis kedua yang menggunakan regresi linier berganda dengan kinerja
lingkungan sebagai variabel independen menunjukkan tidak adanya pengaruh yang signifikan
terhadap variabel kinerja finansial. Hal ini dapat dilihat dari taraf signifikasi yang berada
diatas 0,05 yakni sebesar 0,655 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan.
Hasil pengujian yang didapatkan oleh peneliti atas hipotesis kedua dengan sampel 16
13perusahaan manufaktur tidak mendukung temuan peneliti terdahulu seperti Li, et al. (1997),
Al–Tuwajiri, et al. (2004) dan Suratno dkk. (2006) yang menemukan hasil pengaruh yang
signifikan antara kinerja lingkungan dengan kinerja finansial. Namun hasil yang telah
diperoleh peneliti tersebut menunjukkan konsistensi dengan temuan Rockness, et al. (1986)
yang menguji hubungan antara dua variabel limbah beresiko dalam industri bahan kimia
dengan 12 indikator keuangan dan gagal mendokumentasikan hubungan yang signifikan
secara statistik, juga penelitian Sarumpaet (2005) serta Almilia dan Wijayanto (2007) yang
menemukan hubungan yang tidak signifikan antara kinerja lingkungan dan kinerja finansial
perusahaan industri pertambangan umum dan pemegang HPH/HPHTI. Hasil regresi
penelitian ini bisa dilihat di lampiran 7.
Perilaku variabel kinerja lingkungan pada perusahaan manufaktur tersebut tidak
sejalan dengan prediksi menurut teoritis. Variabel kinerja lingkungan ternyata bukanlah salah
satu faktor yang menentukan fluktuasi harga saham dan besarnya dividen yang dibagikan
pada suatu periode. Sebagai contoh pada tahun 2004 perusahaan Unilever dan Indocement
Tunggal Prakasa yang memiliki peringkat PROPER hijau mempunyai kinerja finansial yang
negatif, namun sebaliknya PT Citra Tubindo ditahun 2006 yang memiliki peringkat PROPER
merah mempunyai kinerja finansial positif yang menunjukkan adanya respon positif dari
pelaku pasar modal. Hal ini diduga karena kondisi yang terjadi di Indonesia sangat berbeda
dengan yang terjadi di beberapa negara lain terutama di negara barat berkaitan dengan
perilaku para pelaku di pasar modal Indonesia. Banyak variabel lain yang tidak diteliti yang
mempengaruhi keputusan investor dalam menentukan portofolio investasi pada perusahaan
manufaktur, misalnya : rasio keuangan, ukuran perusahaan dan kategori investasi apakah
perusahaan merupakan penanaman modal dalam negri (PMDN) ataukah penanaman modal
asing (PMA).
4.5. Pengaruh CSR Disclosure Terhadap Kinerja Finansial
14Dari hasil analisis untuk hipotesis ketiga dengan variabel CSR Disclosure sebagai
variabel independen yang ditampilkan di lampiran 7 menunjukkan tidak ada pengaruh yang
signifikan terhadap variabel kinerja finansial. Hal ini dapat dilihat dari taraf signifikasi yang
berada diatas 0,05 yakni sebesar 0,07 yang menunjukkan tidak adanya hubungan yang
signifikan variabel tersebut. Hasil pengujian yang didapatkan oleh peneliti atas hipotesis
ketiga dengan sampel 16 perusahaan manufaktur tersebut menunjukkan konsistensi dengan
temuan Sarumpaet (2005) serta Almilia dan Wijayanto (2007) yang menemukan hubungan
yang tidak signifikan antara pengungkapan lingkungan dan kinerja finansial perusahaan
industri pertambangan umum dan pemegang HPH/HPHTI.
Variabel CSR disclosure secara parsial ternyata bukanlah salah satu faktor yang
menentukan fluktuasi harga saham dan besarnya dividen yang dibagikan pada suatu periode.
Sebagai contoh pada tahun 2004 perusahaan Unilever dan Indocement Tunggal Prakasa yang
memiliki peringkat PROPER hijau, serta CSR disclosure indeks yang cukup tinggi
mempunyai kinerja finansial yang negatif, namun sebaliknya PT Citra Tubindo ditahun 2006
yang memiliki peringkat PROPER merah serta CSR disclosure indeks yang jauh lebih kecil
mempunyai kinerja finansial positif yang menunjukkan adanya respon positif dari pelaku
pasar modal. Hal ini diduga karena kondisi yang terjadi di Indonesia sangat berbeda dengan
yang terjadi di beberapa negara lain terutama di negara barat berkaitan dengan perilaku para
pelaku di pasar modal Indonesia, masih adanya paham Milton Fredman (Deegan, 2002 dalam
Chambers dkk, 2004) yang beranggapan bahwa pelaksanaan CSR tidak sesuai dengan nature
of business dimana tujuan perusahaan adalah untuk memaksimalkan keuntungan bagi
pemegang saham bukan bagi masyarakat secara keseluruhan juga dapat menjadi salah satu
penyebab hal tersebut.
Berdasarkan hasil analisis terbukti bahwa masing – masing variabel kinerja
lingkungan dan CSR disclosure secara parsial tidak memiliki pengaruh yang signifikan
15terhadap kinerja finansial perusahaan, namun untuk hasil uji signifikan secara simultan
keduanya memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap variabel kinerja finansial. Hal
ini dapat terlihat dari taraf signifikasi uji simultan F memiliki nilai lebih kecil dari 0,05 yakni
0,030. Dapat disimpulkan variabel kinerja lingkungan dan CSR disclosure secara bersama –
sama (simultan) memiliki pengaruh positif yang signifikan terhadap kinerja finansial. Kedua
variabel tersebut saling menguatkan satu sama lain sehingga berdampak pada pengaruh yang
signifikan. Hal ini diduga karena perilaku para pelaku modal di Indonesia yang sangat berhati
– hati dalam menentukan keputusan investasinya sehingga variabel kinerja lingkungan saja
ataupun CSR disclosure saja yang berdiri sendiri tidak memiliki pengaruh yang besar namun
secara bersama – sama keduanya berpengaruh signifikan pada keputusan investor yang
mengacu pada kinerja finansial perusahaan.
Berdasarkan dari hasil pengolahan data, didapatkan nilai koefisien beta kinerja
lingkungan terhadap CSR disclosure memiliki nilai sebesar 0.617, dan bila dikalikan dengan
koefisien beta CSR disclosure terhadap kinerja finansial yang memiliki nilai sebesar 0.329
akan menghasilkan nilai sebesar 0.203. Koefisien tersebut lebih besar bila dibanding dengan
nilai koefisien beta kinerja lingkungan terhadap kinerja finansial yakni sebesar 0.080. Hal ini
menunjukkan kinerja lingkungan tidak hanya dapat berpengaruh secara langsung terhadap
kinerja finansial, tetapi juga secara tidak langsung melalui CSR disclosure sebagai variabel
intervening. Variabel intervening merupakan variabel antara atau mediating yang berfungsi
memediasi hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen (Ghozali, 2006 :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar